Senin, 23 Februari 2015

kerajaan sriwijaya

Kerajaan Sriwijaya

1) Bukti-Bukti Kerajaan Sriwijaya
Kerajaan Sriwijaya dalam sejarah Indonesia disebut sebagai kerajaan maritim terbesar yang menguasai jalur dagang di Laut Cina Selatan dan Selat Malaka. Kerajaan ini telah mampu memanfaatkan posisi strategisnya dalam lalu lintas perdagangan antara Cina dan India.
Pengetahuan kita mengenai sejarah kerajaan Sriwijaya diperoleh dari sumber-sumber asing dan dalam negeri. Sumber dalam negeri berupa prasasti-prasasti yang pada umumnya ditemukan di Palembang kecuali prasasti Kota Kapur dan prasasti Karang Brahi yang ditemukan di Bangka dan Jambi: Adapun ketujuh buah prasasti tersebut adalah
1. Prasasti Kedukan Bukit (683 M),
2. Prasasti Talang Tuo (684 M),
3. Prasasti Kota Kapur (686 M),
4. Prasasti-prasasti Siddhayatra (tidak berangka tahun),
5. Prasasti Telaga Batu (683 M), dan
6. Prasasti Karang Brahi (686) di Jambi.

Adapun sumber-sumber asing tentang kerajaan Sriwijaya diperoleh dari Cina, India (antara lain Prasasti Nalanda dan Cola), Sri Lanka, Arab, dan Parsi, serta Prasasti Ligor, di Tanah Genting Kra, Malaysia yang berangka tahun 775 M.

2) Sistem Kepercayaan
Berbeda dengan kerajaan Kutei dan Tarumanagara yang bercorak Hindu, kerajaan Sriwijaya bercorak Budha dan menjadi pusat kajian agama Budha di Asia Tenggara. Berdasarkan catatan perjalanan pendeta Budha Cina bernama I-tsing yang datang ke wilayah Nusantara untuk kedua kalinya pada tahun 692 M, dikatakan bahwa banyak pelajar Cina yang hendak belajar agama Budha di India, belajar terlebih dahulu dasar-dasar agama Budha di Sriwijaya selama satu sampai dua tahun.
Di bidang agama, Sriwijaya menjadi pusat kajian dan pusat penyebaran agama Budha ke Asia Tenggara. Aliran atau mazhab agama Budha yang berkembang di kerajaan Sriwijaya adalah Mahayana, suatu aliran yang lebih moderat dibandingkan dengan aliran Hinayana.
Hal tersebut mudah dimengerti sebab para pendeta Budha yang berasal dari Cina juga menganut aliran yang sama. Mereka banyak belajar ajaran agama Budha di Sriwijaya bersama-sama dengan orang-orang dari India yang hendak menyebarkan agama Budha di daerah-daerah yang disinggahinya. Di kerajaan ini, mereka secara terbuka menerima orang asing dan belajar dari orang asing, India, dan Cina.

3) Perkembangan Bahasa
Pada zaman keemasannya, kota Palembang menjadi pusat peziarah pendeta Budha dari berbagai bangsa. Kemungkinan, bahasa Malayu telah menjadi bahasa pengantar dalam sistem pendidikan Sriwijaya. Berdasarkan beberapa prasasti yang ditemukan di Palembang, seperti yang terungkap. di atas bahasa yang digunakan dalam prasasti¬prasasti tersebut bukan bahasa Sanskerta melainkan bahasa Malayu kuno dan berhuruf Pallawa.
Dengan demikian, kerajaan ini telah mengembangkan bahasa sendiri tanpa menggunakan bahasa asing. Kemungkinan bahasa tersebut telah digunakan dalam transaksi antarpedagang, terutama pedagang-pedagang yang berasal dari daerah-daerah taklukkan Sriwijaya ketika itu, seperti Jawa Barat, Bangka, Jambi, dan Semenanjung Malaysia.

4) Mata Pencaharian Penduduk
Penduduk kerajaan Sriwijaya yang pada umumnya menggantungkan hidup dari hasil tangkapan ikan dan berdagang, ternyata lebih bersikap dinamis dan terbuka terhadap pengaruh asing. Mereka bisa berpindah dan berlayar dari satu ke pelabuhan ke pelabuhan lain dan dari satu negara ke negara lain, serta mereka sudah barang tentu dapat berkomunikasi dan bergaul dengan berbagai bangsa yang menyinggahi pelabuhan-pelabuhan dagang di Sriwijaya.

5) Bidang Kebudayaan
Meskipun menggunakan bahasa Malayu sebagai bahasa pengantar/berkomunikasi sehari-hari, mereka juga mengambil budaya dari India, seperti penggunaan nama-nama India, adat istiadat, serta tradisi dalam agama Budha. Pada masa pemerintahan Raja Balaputra Dewa, kerajaan Sriwijaya mengalami perkembangan pesat yang ditandai dengan tumbuhnya perdagangan di perairan Sriwijaya sebagai jalur dagang internasional.

6) Bidang Perdagangan
Raja-raja Sriwijaya memiliki pandangan jauh mengenai pemanfaatan posisi strategis kerajaannya di jalur dagang internasional. Untuk memajukan perdagangan, ibukota yang semula terletak di Palembang dipindahkan ke Minanga Tamwa. Minanga Tamwa sendiri merupakan suatu daerah pertemuan antara Sungai Kampar Kanan dan Kampar Kiri. Daerah ini dianggap lebih strategis dibandingkan dengan Palembang.
Pada tahun 775 M, seperti tertera dalam Prasasti Ligor, Sriwijaya membangun ibukota baru di Semenanjung Malaysia. Tujuannya agar pemerintah kerajaan Sriwijaya lebih mampu mengawasi kegiatan dagang di Selat Malaka serta untuk mencegah para pedagang memotong jalur perdagangan darat melewati Tanah Genting Kra. Dengan demikian, semua pedagang yang berasal dari Cina atau Asia Tenggara yang menuju Sriwijaya dan India atau sebaliknya harus melewati Selat Malaka, yang saat itu dikuasai oleh Sriwijaya.
Kegiatan dagang telah meningkatkan taraf kemakmuran rakyat Sriwijaya. Menurut berita dari Cina, raja-raja Sriwijaya sangat terkenal karena kekayaannya. Menurut sebuah legenda Cina, salah seorang raja Sriwijaya telah membuang sebungkal emas ke kolam pada setiap mereka ulang tahunnya. Legenda ini, walaupun diragukan kebenarannya, menunjukkan bahwa raja-raja Sriwijaya mengalami kemakmuran karena kegiatan dagang mereka.

7) Bidang Pendidikan
Di bidang pendidikan serta kajian ajaran Budha, kerajaan ini bukan hanya pusat pendidikan Budha dengan mendatangkan pelajar dari luar negeri melainkan juga mengirimkan pelajar-pelajarnya untuk belajar agama Budha dan ilmu pengetahuan di India. Berdasarkan berita yang termuat dalam Prasasti Nalanda (India), hubungan raja Sriwijaya, Balaputra Dewa, dengan raja Benggala, di India yang bernama Raja Dewapaladewa, sangat erat. Raja dari India ini menghadiahkan sebidang tanah untuk mendirikan asrama bagi para pelajar dari Sriwijaya yang belajar di Nalanda.
Raja-raja Sriwijaya yang terbuka terhadap pengaruh asing memiliki pandangan positif untuk memajukan rakyatnya dengan belajar dari negara lain, seperti India. Hasilnya adalah lahirnya beberapa pelajar terkemuka yang menguasai ilmu pengetahuan serta bidang agama Budha. Salah seorang guru besar Budha yang berdarah asli Sriwijaya adalah Dharmakirti yang bukan hanya disegani di Sriwijaya melainkan juga oleh para pendeta dari Cina. Seorang pendeta Cina bernama Atica sangat mengagumi Dharmakirti dan menjadikannya sebagai guru agama Budha.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar